Bella #02

Seperti biasanya, panasnya matahari dan mesin mobil di tengah kemacetan masih menghiasi siang hariku di kota Jakarta tercinta. Dibonceng oleh Pak Suwartono -tukang ojek langgananku sejak awal kuliah-, aku menembus liarnya peraduan kendaraan bermotor demi mencapai kampus dan mengumpulkan proposal pengajuan topik skripsi.

Pukul 13.55
Jam tanganku menunjukkan bahwa lima menit lagi adalah batas pengumpulan proposal. Aku berlari tergopoh-gopoh menuju sekretariat fakultas dan segera mencari loker calon pembimbing skripsiku.

“Bella!”

Keluar dari lift, aku mendengar namaku dipanggil tapi aku tidak sempat menoleh. Aku langsung menghambur masuk ke dalam sekretariat dan segera memasukkan proposal skripsiku ke dalam loker bertuliskan nama pembimbingku.

“Terlambat lagi, Bel?”

Mas Aryo, resepsionis merangkap office boy fakultas yang mejanya tepat berada di seberang loker dosen menyapaku dengan ramah.

“Iya nih mas. Hehehe. Biasa lah, namanya juga mahasiswa.. Kurang afdol kalau bukan deadliner..”

Mas Aryo mengenalku sejak semester empat, waktu aku menjadi asisten dosen mata kuliah Metode Wawancara.

“Ya dosen pembimbingnya saja juga deadliner kok tiap kali mengumpulkan soal ujian.. Bagaimana mahasiswanya?”

Aku meringis. Calon dosen pembimbingku ini memang terkenal dengan kebiasaannya menunda-nunda pekerjaan. Konon katanya, segala pekerjaannya tidak pernah dicicil tapi selalu selesai tepat pada batas waktu dan hasilnya selalu sangat memuaskan.

“Tapi soal ujiannya selalu susah mas.. Deadliner aja soalnya susah, palagi kalau dicicil dari jauh hari, tambah susah nanti.. Hehehe. Saya duluan ya, mas..”

“Iya.. Jangan lari-lari lagi.. Saya saja bosan lihat kamu selalu lari-lari kesini setiap ada tanggal pengumpulan tugas.. Apalagi barangnya sering ketinggalan..”

“Hehehe. Yang penting nggak lari dari kenyataan deh mas..”

Aku berjalan keluar sekretariat, meninggalkan Mas Aryo yang bengong mendengar jawabanku.

Fyuh. Lega rasanya setelah proposal itu masuk ke dalam loker tepat pada waktunya. Seperti yang dikatakan Mas Aryo, setiap masa ujian selalu ada saja tugas yang membuatku berlari-lari ke sekretariat selama hampir empat tahun berkuliah. Bahkan sampai proposal skripsi yang sangat penting demi akhir kuliahku saja aku terlambat. Kecerobohanku ini memang sudah bawaan lahir nampaknya.

Aku duduk di pojok kantin, memasang headset di telingaku dan mulai mengetik artikel yang harus kukirimkan pada Mbak Maya, editor majalah Nature Living. Sudah dua bulan ini aku bekerja paruh waktu sebagai kontributor artikel. Pengalamanku sebagai anggota komunitas pecinta alam di kampusku lah yang membawaku mewujudkan cita-citaku untuk menjadi bagian dari tim redaksi sebuah majalah.

BRAK!!

Kania memukul meja kantin dan duduk di hadapanku.

“Pelan-pelan dong, Kania.. Kalau kelakuanmu seperti itu terus, kapan mau punya pacar?”

Aku melepas headset dari telinga kananku.

“Ya kamu itu.. Dari tadi aku panggil di sekretariat nggak nengok, barusan aku panggil juga nggak jawab.. Nggak taunya kupingmu disumpel headset..”

“Oh tadi itu kamu yang panggil aku di sekretariat? Hehehe sorry.. Tadi aku langsung ke kantin, aku belum makan dari pagi..”

“Iya nggak apa-apa.. Aku mau mengembalikan buku Psikologi Kesehatan punyamu.. Sekaligus mau memberitahumu kabar gembira!”

“Kabar gembira apa? Mau memperkenalkan aku dengan pria mana lagi?”

Lagi-lagi aku meringis. Aku teringat waktu terakhir kali Kania mengatakan hal serupa, kabar gembira yang ia maksud adalah tentang kepulangan saudara sepupunya dari Amerika dan hendak dijodohkannya denganku.

“Ah. Bukan itu! Kamu ingat lomba penyusunan makalah yang kita ikuti bulan lalu?”

Aku mengangguk.

“Pengumumannya hari ini, dan tadi aku dipanggil sama Mas Cahyo.. Beliau bilang, kita maju ke presentasi umum di Konferensi Nasional Mahasiswa!!”

“Hah? Serius kamu?!”

Aku cukup kaget karena tidak menyangka makalah kami masuk ke presentasi umum. Karena jujur saja, proses pembuatannya pun tidak kami lakukan dengan benar-benar serius.

“Iya! Masa aku bohong soal ini?”

“Jadi itu artinya..”

“Yap! Kita akan ke Yogyakarta bulan depan!”

Kania tersenyum lebar. Aku tersenyum lebar.

Lalu kami berpelukan dan berteriak kegirangan, membuat seluruh orang di kantin melongo melihat perilaku kami.

Hmm.. Yogyakarta..

***

Leave a comment